Sabtu, 19 Mei 2012

Mari coba masakan Korea..


Di suatu siang yang absurd di bulan April lalu, saya dan Panda sedang kebosanan menunggu kedatangan travel Cipaganti di Cibubur Times Square. Hujan baru saja usai meninggalkan hawa dingin yang mengguncang perut kami yang masih kosong. Kamipun berkeliling di area itu sambil berharap menemukan tempat makan yang tepat. 

Hujan sudah kelar, petir juga nggak ada, tiba-tiba tangan Panda menunjuk ke sebuah restoran Korea. I’m a bit shock! Pertama, nggak ada satupun dari kami yang pernah makan masakan Korea. Dua, satu-satunya menu yang saya tahu cuma sayuran hasil fermentasi bernama kimchi, itupun hasil dari nonton sinetron Korea. Tapi tetep, dengan pengetahuan yang serba terbatas DuoPanda melenggang masuk ke restoran Soyanggang.

Investigasi Menu..
Ruang makan di restoran ini terdiri atas bilik-bilik kecil. Di tiap bilik ada sebuah meja pendek dan beberapa kursi, sekilas seperti tempat lesehan di pemancingan ikan. Bedanya kursinya dilengkapi sandaran dan di bawah mejanya terdapat lubang untuk menaruh kaki. Jadi nggak bisa dibilang lesehan juga sih. 

gaya lesehan ala Korea
Seorang waitress datang bersama buku menu yang ditulis dalam 3 bahasa: Korea, Inggris dan Indonesia. Bermenit-menit kami habiskan untuk menginvestigasi si mbak ini untuk mendapatkan rekomendasi masakan yang mesti kami order. Panda nyaris mengorder Samgyetang, sup ayam muda utuh yang dimasak dengan ginseng. Karena ragu-ragu, kami akhirnya menjatuhkan pilihan pada Samgyupsal yaitu irisan daging babi tanpa bumbu yang dibakar dengan arang. Harga seporsinyapun lumayan, Rp. 90.000. Namanya juga nambah pengalaman kuliner. Jadi kami share seporsi ini untuk berdua ditambah dengan nasi. 

Tragedi Kimchi..
Tak lama kemudian datanglah ocha, teh tawar ini disajikan dingin dan gratis untuk kami berdua. Disusul 12 cawan kecil side dish gratisan lainnya yang disebut banchan. Menu banchan ini terdiri dari kimchi yang terbuat dari sawi dan lobak, taoge rebus, asinan lobak, sejenis tumisan bihun dan sayuran-sayuran lainnya. Mulanya kami senyam-senyum karena dapet banyak banget menu gratisan, until I made a big mistake

bingung pilih banchan..
Bukannya mulai dari menu yang terlihat ringan, saya langsung aja menyuapkan kimchi dari sawi putih berlumur saus merah itu ke dalam mulut. Bener-bener rasa yang asing buat lidah saya. Pertama terasa pahit, pedas lalu asam diikuti aroma langu nan tajam yang tertahan di mulut.

kimchi
Melihat roman wajah saya, Panda memutuskan untuk nggak melakukan hal yang sama, curang dia. Btw, saya tidak bermaksud mendiskreditkan perihal kimchi ini, mungkin memang lidah saya yang kampungan atau mungkin kami mesti nyoba versi aslinya di Korea sana hehehe..

Babi bakar arang = Samgyupsal
Setelah tragedi kimchi sawi itu berlalu, seorang waiter masuk sembari menjepit loyang bulat berisi briket arang yang sudah menyala. Ia menempatkan briket ini di dalam pemanggang yang menyatu dengan meja. Seketika bilik kecil kami terasa lebih hangat dan dipenuhi asap. Ia kemudian mengaktifkan tabung penghisap asap yang lumayan berisik. Seorang waitress bergiliran masuk membawa senampan daging babi mentah yang sudah diiris tipis. Daging ini bener-bener polos tanpa bumbu apapun. Dipanggangnya lembaran-lembaran tipis itu bersama jamur didepan kami. Inilah seni kuliner Korea, cara memasaknya pun sangat menarik. Setelah tingkat kematangannya pas, lembaran daging itu dipotong kecil-kecil dan disajikan di sebuah mangkuk. 

cooking Samgyupsal
Setelah arang panas itu disingkirkan dari meja dan kami siap makan, mbak-mbak waitress kembali membawa dua buah saus dan sebuah keranjang berisi sayuran mentah. Sambil terheran-heran saya menatap keranjang itu, menatap ke arah Panda, balik lagi menatap keranjang itu. Apa yang mesti kami buat dengan sekeranjang selada mentah, daun perilla  (semacem daun mint), bawang putih mentah dan lombok ijo segede gaban ini? 

Samgyupsal versus Perilla leaves

Rupanya ada dua cara untuk makan Samgyupsal ini. Cara pertama, daging dibungkus dengan daun-daunan ini, boleh ditambah kimchi, bawang putih bersama saus ssamjang yang rasanya pedes dan aromanya cukup tajam. Cara kedua, daging cukup dengan dicelup dengan saus gireumjang yang cenderung manis. Mana yang kami pilih? Sudah jelas keranjang sayuran mentah itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kami hajar semangkuk Samgyupsal ini bersama nasi dan saus manisnya. Kata Panda, “enak, empuk, sayangnya kurang banyak...”. Nasinya pun enak dan kenyal. Untung aja cara kedua ini cocok dengan selera kami.

  
Btw, total damage Rp. 150.000 after tax. Harga yang lumayan memang, tapi setimpal dengan pengalaman kuliner yang bener-bener unik..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan jejak..