Kamis, 15 Desember 2011

Cara Baru Makan Steak @Holycow



Akhir-akhir ini orang-orang senang mengomentari metamorfosis kami. Gimana nggak, dulunya kami ini mirip sepasang tulang berjalan, selama hampir empat tahun pacaran berat saya meningkat dari 48 kilo jadi 55 kilo. Panda lebih super lagi, dari golongan cowok berbadan tipis kini melambung sampai 18 kilo dengan perut ndut ala Bernard Bear. Hehe..

Inilah efek samping dari traveling yang tidak jauh dari dunia kuliner. Tukang jajan ketemu tukang makan. Selain gampang lapar mata, kami sering keracunan rekomendasi teman juga dari hasil liputan dan artikel.  

Steak Hotel, Holycow
Bermula dari Panda yang menemukan artikel tentang Steak di Intisari edisi Agustus 2011. Narasumbernya chef Vindex yang saat itu sedang beken sebagai juri Master Chef Indonesia (MCI). Artikel ini tentang cara masak steak yang bener dan contoh penyajian steak yang salah kaprah. Di Indonesia kasus kesalahan ini seperti penambahan saus, sayuran dll. Dengan pedas si chef ini mengibaratkan  penambahan saus seperti lukisan seniman yang ditambah-tambahin oleh penggemarnya. 

Diliputi rasa penasaran, sebelum lebaran kemarin Panda mentraktir saya ke Steak Hotel Holycow di Kebon Dalem, Jakarta Selatan. Steak Hotel yang direkomendasikan dalam artikel ini terkenal karena menu Wagyu Steaknya yang lembut, empuk dan murmer.

Wagyu Rib Eye, Medium Grill, No Sauce

Sesampainya di "warung" Holycow ini kita dikejutkan dengan antriannya. Ya, meskipun menunya adalah daging sapi premium, tapi tampilan Holycow ini lebih mirip warung ketimbang restoran.  Saya dan Panda duduk berhimpitan dengan pengunjung lain masih di meja yang sama, sementara para pengantri berdiri tidak jauh dari kami. 
  
Kami pesan Wagyu Rib Eye (98k) dan Wagyu Sirloin  (93k) yang masing-masing beratnya 200gr dan keduanya tanpa saus. Kami pilih tingkat kematangan medium soalnya menurut artikel steak itu idealnya gak dipanggang sampai mateng bener (well done) karena rasa juicynya bakal hilang. Sementara rata-rata buat orang Indo lebih aman kalau makan daging yang bener-bener matang, garing dan gak berwarna kemerahan lagi. Sementara kami belum cukup berani mencoba tingkat kematangan rare, takut masih terlalu mentah buat lidah kami. Dan sebagai orang yang pernah belajar Microbiology lumrah kalau rada phobia pada makanan-makanan yang 'terlihat' kurang mateng.
   
Wagyu Sirloin, Medium Grill, no sauce

Dengan mudahnya pisau kami mengoyak steak beraroma daging panggang ini.  Tingkat kematangan Medium sesuai ekspektasi, tidak terlalu gosong diluar dan masih sedikit kemerahan di dalam. Dalam sekali gigit kami bisa merasakan mudahnya gumpalan daging ini dilumat oleh gigi dan rasanya lembut, juicy dan seperti lumer di lidah. Daging Wagyu asal Jepang ini memang empuk dan tidak berserat sebagaimana daging lokal, maknyuss

Poin plus dari tidak menambahkan saus steak, saus sambal dan ornamen lainnya adalah rasa original steaknya ketahuan. Dari rasanya, steak ini dimarinade dengan bumbu merica, garam, olive oil dan satu bumbu lagi yang tidak bisa saya identifikasi. Bener kata pak Chef, steak itu gak perlu ditambahin yang aneh-aneh sudah enak, gurih dan juicy-that's the best part.  Bedanya kedua steak yang kami pesan ini, Wagyu Sirloin lebih berlemak. I prefer Wagyu Rib Eye for sure.

Perut kenyang, bill datang. Total damage Rp. 250.000++ berdua. Harga yang bikin kita menelan ludah. Padahal wagyu steak di Holycow ini termasuk yang murah, di resto steak lainnya bisa sampai sampai 300k/porsi. Dari sisi rasa, porsi, dan service it totally worthed & recommended, saya sampe ngiler bikin postingan ini. Would be back kalau ada yang nraktir lagi. :) 

HOLYCOW STEAK HOTEL
Setiap hari (selasa tutup), 18.30 WIB - habis  
Jl Radio Dalem Raya No 15, Jakarta Selatan

Jumat, 09 Desember 2011

Wisata di Kota Hujan


Istana Bogor
Ketika hujan datang.. 
Salah satu faktor krusial yang mempengaruhi sebuah perjalanan selain urusan "duit" adalah faktor cuaca. Menjelang akhir tahun begini belahan bumi lainnya mulai ditutupi oleh salju,  sementara kita yang hidup di negara tropis sedang sibuk-sibuknya diguyur hujan. Di Depok contohnya, hujan datang tanpa basa-basi seperti air yang dituang dari langit ditambah gemuruh petir menyambar-nyambar. Terpaksa deh matiin tv. Awan mendung juga jadi penghalang antara modem internet dan sinyal 3 HSDPA. Ujung-ujungnya kalau langit mulai gelap saya jadi berteman dengan sepi. Sengsaranya..

Istana Bogor
Di musim hujan berada di dalam rumah saja bisa mati gaya, apalagi ketika lagi 'jalan'. Cuaca yang tidak menentu ini juga membuat kami aras-arasen (setengah hati) untuk bepergian. Momen dilematis terjadi sekitar empat minggu yang lalu ketika kaki ini sudah gatel minta diajak jalan dan mata pengen lihat yang hijau-hijau. Bosan ke Lapangan Monas, saya usul ke Kebun Raya Bogor. 

Masalahnya saat itu cuaca mendung, ada pengurangan jadwal KRL Jabodetabek dan sindrom klasik lainnya: -kami sudah kesiangan buat jalan-. Setelah berlangsung aksi saling tuding, kemudian kami meluncur juga ke Bogor dianter oleh tante. Setelah 1.5 jam perjalanan, hawa sejuk mulai terasa dan kami melewati Istana Bogor di Jalan Ir. H. Juanda. Istana bergaya Belanda yang serba putih ini nampak megah, cantik, anggun sekaligus angkuh dengan pilar pilar paladian yang menjulang tinggi. Sayangnya Istana yang dibangun tahun 1744 ini tertutup untuk umum.


Istana Bogor

Saya baru sadar kalau banyak bangunan bersejarah di negara kita ini sangat dipengaruhi oleh gaya arsitektur Klasisme, seperti: Museum Fatahilah, Museum Seni Rupa & Keramik dan GPIB immanuel di seberang Gambir. Ciri-cirinya bangunannya megah-serba putih, jendela kayu sebesar pintu, ornamen pilar-pilar putih raksasa dan atap yang dihiasi kubah bulat atau menara yang cantik.

Walaupun secara resmi adalah istana kepresidenan, tapi menurut saya istana ini  punya sisi romantisme.  Selain bangunannya yang serba putih, pelatarannya yang luas terbalut rumput hijau yang jadi tempat hidup bagi ratusan rusa berpunggung totol putih. Saking banyaknya rasanya seperti melihat pemandangan nyata padang savana di Afrika, tapi tanpa singa lho.  Herannya dengan tingkat kepadatan populasi tinggi rusa-rusa imut dari Nepal itu nampak bahagia dan santai merumput sembari permalasan.

Beberapa rusa mendekat ke pagar Istana  sambil sibuk mengunyah. Rupanya beberapa pengunjung memberi makan sambil mengelus-elus kepala si rusa dan berfoto bersama. Momen indah dimanfaatkan beberapa orang untuk berdagang wortel dan kangkung. Panda merapat ke jendela mobil, dari senyuman takjub dan matanya yang berbinar-binar saya tahu dia pengen ikutan ngasi makan. Gitu kok tadi diajak males-malesan. Sayang karena keterbatasan waktu dan gak bisa parkir, jadi lanjut menuju Kebun Raya Bogor

Kami juga melewati Museum Zoologi yang sialnya juga sudah tutup karena kami berangkat kesiangan. Ada juga gereja GPIB Zebaoth, satu lagi gereja tua yang cantik peninggalan jaman Belanda. Pengen banget foto-foto, lain kali kami pasti mampir!
  
Kehujanan di Kebun Raya Bogor
Seharian gak akan cukup untuk menjelajahi Kebun Raya seluas 87 Hektar ini, apalagi kalau cuma dua jam ditambah adegan kehujanan. Ditambah lagi karena ada persiapan acara kawinan, beberapa jalan ditutup jadilah kami cuma bisa melewati beberapa area diantaranya Kolam teratai di depan Cafe Dedaunan dan berfoto di dekat patung Sir Raffles. Baru sebentar saya hujan turun dari langit dan membuyarkan acara foto-foto kami. 

Panda dan Teratai Raksasa @KRB

Terakhir saya kesini tahun 2007 lalu untuk melihat langsung Amorphpophallus titanium si bunga bangkai yang tinggi itu. Dan belum lama ini ada liputan tentang koleksi anggrek dan kaktus yang bikin saya ngidam pengen ke KBR. Dan sialnya ketika kami sudah sampai persis di depan rumah kaca (Anggrek), pintunya sudah digembok. Hiks. Akhirnya kami memutar ke area Pandan-pandanan (Pandanaceae) area favorit lainnya yang gak bisa difoto karena hujan. Kelemahan Camdig yang kami bawa ini hasilnya kurang oke di tempat yang kurang & kelebihan cahaya, juga kalau berangin. Kamera yang aneh..

Dengan segala keterbatasan, kami memang cuma baru mengexplorasi secuil area dari Kebun raksasa ini tapi overall its nice. Ada banyak jalan dan jembatan yang bisanya diakses dengan jalan kaki, gak ada penyewaan sepeda pula. Saran paling bijak kalau ada berwisata ke Bogor nampaknya memang harus dimulai pagi-pagi benar supaya bisa masuk ke banyak tempat, jangan lupa payung, siapkan kaki dan batere yang banyak.  


dibawah pohon pisang-pisangan

Bogor Botanical Garden
Jl. Ir. H. Juanda no. 13, Bogor
Jam Buka
Setiap Hari,    08.00 - 17.00 WIB
HTM 
Pengunjung             Rp. 10.000,-
Mobil                       Rp. 15.000,-
Motor                     Rp.   2.500,-

Kamis, 08 Desember 2011

Wisata Gereja Tua Jakarta..


Gereja Immanuel Jakarta

Tes Camera
Meskipun judulnya terasa agak religius, tapi sebenarnya plesir kami kali ini dalam rangka 'ngereyen' camera Nikon SLR D3100 punya tante. Setelah sekian lama bergulat dengan camera digital pocket, akhirnya kesampaian juga ngerasain pakai SLR. Dengan pengalaman fotografi yang tergolong amatir kami memilih gedung gereja sebagai obyek  yang  relatif mudah difoto. Itu cuma teori saya. Kenyataannya menjepret gedung gereja yang menjulang tinggi itu cukup sulit, sampai harus berjongkok-jongkok ria. 

Entah sudah berapa kali saya gagal ngajak Panda ke kedua gereja bersejarah yang letaknya tidak jauh dari stasiun Gambir ini. Dan seringnya saya cuma bisa manyun ke arah Panda ketika melihat Gereja Immanuel & (atap) Katedral Jakarta dari dalam KRL. Tiba-tiba sabtu kemarin Panda dengan penuh semangat ngajak jalan dan dengan rajinnya menyiapkan ransel kamera sambil senyam senyum. Pantesan dari kemaren saya berkali-kali disuruh baca manual booknya. *lirik ke arah Panda*  

GPIB Immanuel tampak dari Stasiun Gambir

Gereja Immanuel 
As usual, kami berangkat dari depok dengan KRL commuter line tujuan Gambir. Tugu monas dan Gereja Immanuel sudah kelihatan jelas dari lantai tiga stasiun. Setelah pasang lensa, sedikit sentuhan zoom, voilĂ ! Gereja klasik ala Belanda yang serba putih ini terlihat anggun dibidik dari Gambir. Cuma karena sudutnya kurang pas, jadi bagian depan agak tertutup pepohonan. Fyi, GPIB Immanuel ini terletak di jalan Pejambon di seberang stasiun Gambir.

Melangkah ke seberang, gerbang depan gereja ini digembok jadi kami mesti berjalan memutar lewat gerbang samping. Biarpun tujuan utama sekedar berfoto-foto tapi kami mesti ijin dulu ke satpam lalu lanjut ijin ke pengurus gereja. Rasanya agak paranoid yah, mungkin untuk menghindari kejadian terorisme. Padahal dilihat dari sudut manapun, kami yang bercelana pendek ini sama sekali gak mirip wartawan, fotografer profesional apalagi teroris.

GPIB Immanuel Jakarta

Back to the Church. Gedung gereja ini benar-benar megah dengan pilar-pilar paladian raksasa, pintu dan jendela kayu yang tinggi-besar ditambah menara kecil diatas kubah bulatnya. Panda yang gembul aja bisa keliatan kecil difoto bersama gedung megah ini. Sayangnya cat putihnya sudah memudar jadi kelihatan agak kusut. Gereja ini sedang proses renovasi dan mestinya di cat ulang juga. 

Sayang seribu sayang kami gak bisa melihat interior di dalamnya karena sedang ada upacara pemberkatan nikah. Kami juga sempat ditanyai gara-gara berniat 'mencuri' foto pasangan pengantin berkostum putih-putih yang sedang menaiki tangga gereja yang meliuk. Momen yang sip untuk difoto. Sayangnya sudah keburu dipanggil sebelum berhasil jepret. Sebelum meninggalkan gereja, Panda masih sempat memfoto gadis-gadis kecil pengiring penganting yang terlihat cute dalam terusan warna putih. Sementara saya cuma bisa senyum-senyum pada Satpam yang menunjukkan raut curiga pada perilaku kami. What a wierd situation.   

Katedral Jakarta
Neo-gothic Church

Pertama kali lihat gereja bergaya neo-gothic ini ketika dalam salah satu perjalanan kami menggunakan KRL. Saya bertanya-tanya pada Panda, bangunan cantik apakah  itu yang 'bernuansa' eropa di tengah ruwetnya tata-kota Jakarta? Dan akhirnya sampai juga kami ke Gereja Katedral Jakarta ini diantar oleh bajaj BBG warna biru dari stasiun Gambir. Kurang dari 10 menit (dan Rp. 15.000,-) kami sampai juga di Gereja Katedral Jakarta. Menurut mbah google, nama resmi gereja ini adalah Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga/ De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming.

Katedral Jakarta

Sesampainya di gerbang kami langsung lapor ke pos satpam yang untungnya lebih flexible menerima tamu. Kami terperangah melihat gedung gereja ini dari dekat. Kata yang paling tepat untuk menggambarkan gereja ini adalah luarrr biasa cantik. Barangkali gereja kuno tercantik dan termegah yang pernah saya lihat langsung. Lagi-lagi kami tidak berhasil masuk ke dalam gereja karena sedang ada ibadah pemberkatan nikah. Mau bagaimana lagi, akhirnya kami cuma bisa mengagumi gedung gereja ini dari luar saja.
   
Inilah bagian tersulitnya. Gereja Katedral berwarna gothic ini menjulang tinggi dengan dua menara berwarna putih di puncaknya, sementara halamannya sedang dipenuhi mobil parkir. Bayangkan sulitnya mendapatkan foto gedung gereja yang utuh tanpa memperlihatkan jejeran mobil itu. But it worthed to try.  

Kami mesti puas dengan jeprat-jepret di pelataran luar dengan gerak yang terbatas. Lagi-lagi panda menemukan model dadakan berupa sepasang bocah laki-laki dan perempuan sekitar 5-6 tahunan dengan yang sedang asyik ngobrol di depan pintu gereja. Belum sempat mengabadikan moment itu, bapak si anak nongol dan merusak suasana. Ealah..

Bonus: Monas (lagi)
Sebenarnya masih ada beberapa lagi gereja-gereja Tua di Jakarta, tapi rasanya dua gereja ini dulu sudah cukup.  Perjalanan uji coba foto kami diakhiri dengan leyeh-leyeh (lagi) di taman Monas. Entah sudah berapa kali kami 'mampir' ke Monas, dari yang dulunya memang niat untuk naik ke puncaknya sampai yang hanya sekedar beristirahat sambil ditiup angin semilir dan memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang dengan sepeda atau layangan. 

Sore di Lapangan Monas

Dan dari beberapa foto Monas yang pernah kami jepret, foto diatas ini mungkin yang terbaik secara kali ini kami pakai camera SLR. Thanks to Panda for capturing this lovely picture, sementara saya sedang sibuk memberi makan ikan di kolam Monas dengan roti Boy. Jangan salah, mereka demen banget dikasi roti sampai   rebutan  dan lompat-lompat segala.  Dan karmanya celana dan sepatu saya basah karena kecipratan mereka. Kata Panda sebelum kami beranjak pergi, 'lain kali kita bawa makanan ikan ya'. Niat banget emang si Panda, hahaha...

Telepon masuk dari dua sohib saya yang menginfokan bahwa mereka sudah sampai di Stasiun Gambir. Kemudian kami jalan bareng ke Ambasador Plaza. Dari wisata heritage berubah jadi wisata mall, what a great weekend. :)